Judul: The Act of Listening to “Battered” Women: An Ethnographic Comparison of Police and Emergency Responses in São Paulo, Brazil
Penulis: Rocío Alonso Lorenzo dan Beatriz Accioly Lins
Publisher: Cambridge University Press
Peresensi: Ka’bati
Artikel ini berangkat dari fenomena meningkatnya penuntutan oleh korban kekerasan dalam rumah tangga, artikel ini membandingkan tanggapan para profesional terhadap kasus-kasus tertentu di dua lembaga yang berbeda di São Paulo, kantor polisi perempuan dan layanan darurat rumah sakit. Artikel ini berfokus pada pertemuan pertama korban dengan polisi wanita dan penasihat hukum yang populer di layanan kesehatan. Peneliti menggunakan “relativisme interpretatif” (Geertz 1983) sebagai kerangka kerja mendasar untuk membandingkan, secara etnografis, dua metode kognitif yang kontras untuk mengadili kebenaran atas peristiwa yang diceritakan oleh para korban: skematisasi fakta, yang biasa dilakukan oleh para petugas polisi, dan skematisasi tindakan sosial, yang biasa dilakukan oleh para praktisi hak asasi manusia.
Lewat penelitiannya, penulis menyimpulkan bahwa ketika polisi wanita bersikap ambivalen terhadap kapasitas perempuan untuk memutuskan sendiri bagaimana menggunakan sumber daya hukum yang ditawarkan kepada mereka, para advokat hukum populer, sebaliknya, berusaha memberdayakan perempuan dengan meningkatkan kapasitas mereka untuk mengambil keputusan yang tepat.
Teori utama yang menjadi kerangka riset ini adalah menggunakan pendekatan yang diperkenalkan oleh Geertz tentang relativisme interpretatif. Relativisme interpretatif adalah teori yang dikemukakan oleh antropolog Clifford Geertz dalam bukunya berjudul Local Knowledge: An Interpretation of Local Cultures (1983). Teori ini berpendapat bahwa makna budaya tidak dapat dipahami secara objektif, melainkan harus diinterpretasikan berdasarkan konteks budaya di mana budaya tersebut muncul.
Relativisme Interpretatif berusaaha untuk membuktikan beberapa dasar pemikiran tentang makna budaya. Geertz mengemukakan bahwa makna budaya tidak universal dan tidak memiliki satu kebenaran tunggal, melainkan berbeda-beda di setiap budaya. Perbedaan itu disebabkan oleh konteks budaya yang berbeda pula. Sehingga, menurutnya makna budaya hanya dapat dipahami dalam konteks budaya di mana budaya tersebut muncul.
Selain itu, Geertz juga memahami bahwa pemahaman budaya bersifat interpretatif, sehingga tidak dapat diperoleh secara langsung, melainkan harus diinterpretasikan melalui proses penafsiran.
Pendekatan Geertz inilah kemudian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitiannya untuk mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan kasus-kasus kesetaraan gender di San Paulo, satu metode yang jenius dan memiliki sensitifitas feminis cukup kuat.***
Leave a comment